Senin, 23 April 2012

Secuil Dangdut, segenggam kemewahan

Secuil Dangdut, segenggam kemewahan
Oleh : Soleh Mohamad
Kamis, 19 april 2012, 16.00 WIB, komunitas Salihara, wadah penggiat sastra di Pasar Minggu Jakarta Selatan, mencatat sejarah. Salihara mendatangkan seorang peneliti asing yang juga profesor musik kelas dunia: Andrew Weintraub, untuk mendiskusikan bukunya “ Dangdut: musik, identitas dan budaya Indonesia” yang merupakan terjemahan “dangdut stories”, 2010. Dengan terbitnya edisi Indonesia, buku yang menjelaskan tentang sejarah dangdut ini ditengarai merupakan karya intelektual pertama yang secara konprehensif membahas mengenai musik rakyat, dalam banyak perspektif. Penulis tidak membahas mengenai isi buku ini, tetapi lebih kepada suasana kejiwaan dan perasaan yang mendiskripsikan betapa buku ini menjadi penting, ditengah keringnya intelektualisasi musik dangdut.
Menjadi sejarah, karena ini kali pertama, komunitas sastra Indonesia membicarakan dangdut dengan tekanan intelektualitas yang padat. Salihara tentu berani bicara dangdut karena musik bagian dari sastra. Mau tidak mau dan tidak terhindarkan, karya Andrew telah memenuhi selera kaum menengah atas, dimana kaum penggiat sastra ada di dalamnya. Buku Andrew seolah menjelaskan duduk persoalan tentang dangdut yang selama ini banyak orang kurang cerdas mempersepsikan. Para “kaum asing” tersebut, menilai dangdut sebagai musik kelas bawah, pinggiran, dekil, kampungan, dan orang menjadi malu apabila dilekatkan olehnya. Hipokritisme bangsa Indonesia yang paling akut bisa terlihat dari bagaimana cara mereka memperlakukan dangdut. Mereka mau tapi malu. Kebudayaan borjuis, mall, media televisi, majalah-majalah bergaya, simbol-simbol modern pergaulan anak muda semakin jauh mendengar suara gendang dan suling. Di sinilah peran Salihara menjadi penting, karena di sana representasi kelompok melek sastra bersuara, dan mereka lantang menyatakan tertarik.
Yang tak terduga, kehadiran sang moderator, Ayu “yang memang ayu” Utami. Penulis kawakan yang selama ini pro terhadap gerakan liberalisme, teryata diam-diam memendam perhatian kepada dangdut. Ayu cukup piawai membawakan diskusi, sehingga peserta yang hadir cukup menikmati dialog-dialog mantan wartawati tempo ini. Ayu melemparkan pernyataan tentang kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam musik dangdut dan eksploitasi perempuan dalam pagelaran musik dangdut. Penulis tentu sangat memahami kegusaran Ayu, sebagai aktifis HAM dan juga mungkin mewakili banyak pihak. Betapa mungkin misalnya berdakwah sementara para pendengarnya di lapangan berjoget, betapa mungkin mendendangkan syair-syair nan indah namun para audiensi malah bermabuk ria. Buku Andrew memang tidak membahas hal ini, tetapi Rhoma Irama dalam banyak kesempatan telah menjawab fenomena yang dikhawatirkan Ayu. Sayang, Ayu tidak cukup waktu “mendengarkan” Rhoma Irama.
Denny Sakri, yang mendapat julukan kamus musik berjalan, sangat piawai membahas dangdut dan fenomena Rhoma Irama. Sakri mengkaitkan musik dan lirik serta membandingkannya dengan tren perkembangan musik dunia. Namun secara khusus Sakri menyatakan bahwa Rhoma Irama merupakan revolusioner musik dangdut. Musik dangdut ala Rhoma Irama masih aktual hingga saat ini, seolah tak lekang oleh zaman. Tiada musik dangdut tanpa Rhoma Irama, Elvi Sukaesih dan Arafiq.
Acara menjadi hidup ketika Andrew menyanyikan lagu-lagu dangdut dengan gitarnya. Andrew yang fasih berbahasa Indonesia mendendangkan lagu “gelandangan”, “cinta sampai di sini” dan “cukup sekali”. Pilihan lagu ini bukan tanpa dasar. Dengan analisisnya, Andrew memaparkan bahwa lagu “gelandangan” karya Rhoma Irama, mewakili perasaan rakyat kecil. Meskipun menuturkan kesedihan tetapi tetap menyiratkan semangat hidup. Peserta sangat menikmati alunan Andrew, meskipun tanpa gendang, sebagaimana ciri khas dangdut.
Terbitnya buku Andrew ini merupakan kebanggaan bagi para musisi, penyanyi dan pencinta musik dangdut. Di tengah kedahagaan kita mencari dokumentasi ilmiah tentang dangdut, Andrew menyajikannya. Tentu kita masih menunggu karya-karya ilmiah lainnya tentang dangdut, agar para kelas borjuis di atas membaca dan menjadi mengerti bahwa sesungguhnya dangdut itu berkelas dan mewah dan tidak lagi secuil...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar