Secuil Dangdut, segenggam
kemewahan
Oleh : Soleh Mohamad
Kamis,
19 april 2012, 16.00 WIB, komunitas Salihara, wadah penggiat sastra di
Pasar Minggu Jakarta Selatan, mencatat sejarah. Salihara mendatangkan
seorang peneliti asing yang juga profesor musik kelas dunia: Andrew
Weintraub, untuk mendiskusikan bukunya “ Dangdut: musik, identitas dan
budaya Indonesia” yang merupakan terjemahan “dangdut stories”, 2010.
Dengan terbitnya edisi Indonesia, buku yang menjelaskan tentang sejarah
dangdut ini ditengarai merupakan karya intelektual pertama yang secara
konprehensif membahas mengenai musik rakyat, dalam banyak perspektif.
Penulis tidak membahas mengenai isi buku ini, tetapi lebih
kepada suasana kejiwaan dan perasaan yang mendiskripsikan betapa buku
ini menjadi penting, ditengah keringnya intelektualisasi musik dangdut.
Menjadi
sejarah, karena ini kali pertama, komunitas sastra Indonesia
membicarakan dangdut dengan tekanan intelektualitas yang padat. Salihara
tentu berani bicara dangdut karena musik bagian dari sastra. Mau tidak
mau dan tidak terhindarkan, karya Andrew telah memenuhi selera kaum
menengah atas, dimana kaum penggiat sastra ada di dalamnya. Buku Andrew
seolah menjelaskan duduk persoalan tentang dangdut yang selama ini
banyak orang kurang cerdas mempersepsikan. Para “kaum asing” tersebut,
menilai dangdut sebagai musik kelas bawah, pinggiran, dekil, kampungan,
dan orang menjadi malu apabila dilekatkan olehnya. Hipokritisme bangsa
Indonesia yang paling akut bisa terlihat dari bagaimana cara mereka
memperlakukan dangdut. Mereka mau tapi malu. Kebudayaan
borjuis, mall, media televisi, majalah-majalah bergaya, simbol-simbol
modern pergaulan anak muda semakin jauh mendengar suara gendang dan
suling. Di sinilah peran Salihara menjadi penting, karena di sana
representasi kelompok melek sastra bersuara, dan mereka lantang
menyatakan tertarik.
Yang
tak terduga, kehadiran sang moderator, Ayu “yang memang ayu” Utami.
Penulis kawakan yang selama ini pro terhadap gerakan liberalisme,
teryata diam-diam memendam perhatian kepada dangdut. Ayu cukup piawai
membawakan diskusi, sehingga peserta yang hadir cukup menikmati
dialog-dialog mantan wartawati tempo ini. Ayu melemparkan pernyataan
tentang kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam musik dangdut dan
eksploitasi perempuan dalam pagelaran musik dangdut. Penulis tentu
sangat memahami kegusaran Ayu, sebagai aktifis HAM dan juga mungkin
mewakili banyak pihak. Betapa mungkin misalnya berdakwah sementara para
pendengarnya di lapangan berjoget, betapa mungkin mendendangkan
syair-syair nan indah namun para audiensi malah bermabuk ria. Buku
Andrew memang tidak membahas hal ini, tetapi Rhoma Irama dalam banyak
kesempatan telah menjawab fenomena yang dikhawatirkan Ayu. Sayang, Ayu
tidak cukup waktu “mendengarkan” Rhoma Irama.
Denny
Sakri, yang mendapat julukan kamus musik berjalan, sangat piawai
membahas dangdut dan fenomena Rhoma Irama. Sakri mengkaitkan musik dan
lirik serta membandingkannya dengan tren perkembangan musik dunia. Namun
secara khusus Sakri menyatakan bahwa Rhoma Irama merupakan revolusioner
musik dangdut. Musik dangdut ala Rhoma Irama masih aktual hingga saat
ini, seolah tak lekang oleh zaman. Tiada musik dangdut tanpa Rhoma
Irama, Elvi Sukaesih dan Arafiq.
Acara
menjadi hidup ketika Andrew menyanyikan lagu-lagu dangdut dengan
gitarnya. Andrew yang fasih berbahasa Indonesia mendendangkan lagu
“gelandangan”, “cinta sampai di sini” dan “cukup sekali”. Pilihan lagu
ini bukan tanpa dasar. Dengan analisisnya, Andrew memaparkan bahwa lagu
“gelandangan” karya Rhoma Irama, mewakili perasaan rakyat kecil.
Meskipun menuturkan kesedihan tetapi tetap menyiratkan semangat hidup.
Peserta sangat menikmati alunan Andrew, meskipun tanpa gendang,
sebagaimana ciri khas dangdut.
Terbitnya
buku Andrew ini merupakan kebanggaan bagi para musisi, penyanyi dan
pencinta musik dangdut. Di tengah kedahagaan kita mencari dokumentasi
ilmiah tentang dangdut, Andrew menyajikannya. Tentu kita masih menunggu
karya-karya ilmiah lainnya tentang dangdut, agar para kelas borjuis di
atas membaca dan menjadi mengerti bahwa sesungguhnya dangdut itu
berkelas dan mewah dan tidak lagi secuil...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar