Setelah hampir empat dekade berkecimpung
di industri perfilman Indonesia, Rhoma Irama akhirnya memberanikan
dirinya untuk duduk di kursi sutradara dan mengarahkan sebuah film yang
juga menandai kali kedua ia membintangi sebuah film bersama puteranya,
Ridho Rhoma. Berbeda dengan Dawai
2 Asmara (2010) yang menjadi kali pertama Rhoma Irama kembali
berakting setelah sekian tahun, Sajadah Ka’bah adalah sebuah
film yang mengembalikan Rhoma Irama ke dalam sebuah film yang memiliki
jalan cerita bernuansa relijius… sekaligus menempatkannya kembali dalam
sebuah peran yang menuntutnya untuk melakukan deretan adegan laga
seperti di film-film yang banyak ia bintangi di masa lalu.
Dengan naskah yang ditulis oleh Asep
Kusdinar, Sajadah Ka’bah berkisah mengenai perjalanan Rhoma
Irama (Ya! Rhoma Irama di film ini kembali memerankan sesosok karakter
yang memiliki nama yang sama dengan namanya) yang sedang mengunjungi
masjid-masjid di Lombok dalam rangka silahturahmi dan syiar ukhuwah
Islamiyah dengan para pengurus masjid di daerah tersebut. Setibanya di
Lombok, Rhoma disambut oleh sahabat lamanya, Usman (Leroy Osmani). Tidak
disangka, selain bertemu dengan sahabat lamanya, Rhoma juga bertemu
kembali dengan Towi (Ruhut Sitompul), seorang pria yang masih memendam
dendam terhadap Rhoma akibat perbuatan Rhoma di masa lalu yang secara
tidak sengaja telah merusak sebelah matanya dan menyebabkan kebutaan
permanen.
Konflik kemudian dimulai ketika Rhoma
mengetahui bahwa Towi berniat untuk membangun sebuah kawasan pusat
hiburan di daerah pinggir pantai Lombok dengan mengorbankan sebuah
mesjid yang dimiliki oleh seorang janda bernama Sohiba (Ida Iasha).
Sohiba sendiri telah semenjak lama menolak penawaran yang dilakukan oleh
Towi agar dirinya mau menjual tanah miliknya dan merelakan mesjid
sederhana yang ia miliki turut dihancurkan. Namun, sekeras usaha Sohiba
untuk menolak tawaran Towi, sekeras itu pula Towi berusaha untuk
melakukan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Harapan Sohiba
untuk berlindung dari segala perbuatan licik Towi mulai datang ketika ia
akhirnya bertemu dengan Rhoma yang juga kemudian turut berjanji bahwa
ia tidak akan membiarkan Towi dengan semena-mena meruntuhkan mesjid yang
dimiliki oleh Sohiba.
Adalah dapat dimengerti jika Rhoma Irama
ingin mengenang kembali masa-masa kejayaannya ketika ia membintangi
puluhan film yang menempatkannya sebagai pemeran karakter utama yang
memiliki sifat relijius, heroik dan berani untuk melawan siapapun yang
dianggapnya bertindak semena-mena dan melanggap berbagai prinsip
kepercayaan yang ia pegang. Sayangnya, Sajadah Ka’bah memiliki
dasar penulisan naskah cerita yang terlalu lemah untuk dapat menampilkan
kembali masa-masa nostalgia tersebut dalam sebuah sentuhan kualitas
yang menawan. Terdapat begitu banyak plothole di sepanjang
penceritaan Sajadah Ka’bah yang membuatnya kadang terkesan
terlalu mengada-ada dan sama sekali gagal untuk membentuk hubungan
emosional dengan para penonton film ini.
Sajadah Ka’bah sendiri bukanlah
sebuah film yang murni hanya berfokus pada karakter Rhoma Irama serta
deretan konflik dan karakter yang ia temui ketika karakter tersebut
diceritakan sedang berada dalam perjalanannya di Lombok. Di bagian lain,
film ini juga mengisahkan mengenai karakter Ridho Rhoma (Ya! Ridho
Rhoma mengikuti jejak ayahnya dan memerankan sesosok karakter yang
memiliki nama yang sama dengan dirinya) dan jalinan kisah percintaan
yang ia alami bersama karakter Rara (Michella Adlen). Hingga pertengahan
film ini berjalan, dua sisi cerita yang ditampilkan oleh kedua karakter
ini tidak pernah menemukan titik temu. Penonton dibiarkan berasumsi
bahwa karakter Ridho adalah putera dari karakter Rhoma hanya berdasarkan
hubungan darah yang dimiliki oleh kedua pemerannya di dunia nyata.
Semakin lama film ini menceritakan
kisahnya, jalan cerita Sajadah Ka’bah terasa berjalan semakin
datar dan tidak masuk akal. Lihat saja adegan akhir film ini, dimana
seorang karakter diceritakan tewas dan disaksikan secara langsung oleh
karakter yang diceritakan adalah puterinya. Absurd, orang-orang yang
menyaksikan kematian tersebut justru bertepuk tangan dan puteri sang
karakter yang tewas tadi kemudian menangis sesaat untuk kemudian secara
perlahan dapat tersenyum kembali setelah seluruh karakter yang ada di
dalam jalan cerita Sajadah Ka’bah berkumpul dan menghiburnya.
Terkesan menggampangkan hanya untuk mencapai sebuah happy ending
dari perjalanan sebuah kisah.
Sama sekali tidak ada yang istimewa dari
penampilan para jajaran pengisi departemen akting Sajadah Ka’bah.
Sebagian dari hasil tersebut muncul karena memang karakterisasi setiap
peran yang hadir di film ini digambarkan secara dangkal dan tidak pernah
benar-benar mampu hadir dengan kesan yang nyata. Sebagian lainnya,
memang jajaran aktor dan aktris pengisi film ini tampil dengan kapasitas
akting yang pas-pasan. Rhoma Irama murni muncul memerankan karakter
yang telah diperankan dirinya selama bertahun-tahun. Ridho Rhoma tampil
dengan kemampuan akting yang sama sekali tidak berkembang semenjak
penampilannya di Dawai 2 Asmara. Ida Iasha terlihat sangat
kesulitan dalam mengeluarkan ekspresi wajah yang tepat untuk karakter
yang ia perankan ketika ia sendiri juga seperti kesulitan untuk
melafalkan setiap dialog dengan notasi yang benar. Ruhut Sitompul tampil
sama menyebalkannya seperti penampilan yang selalu ia perlihatkan
ketika ia sedang memberikan sebuah pernyataan politik di berbagai
stasiun televisi Indonesia dan penampilan aktor asing Chap Martin Ryan
juga semakin memperburuk kualitas Sajadah Ka’bah secara
keseluruhan.
Mungkin terdengar sinis untuk
menggambarkan Sajadah Ka’bah sebagai sebuah film yang dibuat
untuk memenuhi ego seorang Rhoma Irama. Namun, hal tersebutlah yang
sebenarnya akan dapat dirasakan setiap orang ketika sedang menyaksikan
film ini. Sayangnya, pemenuhan ego tersebut tidak diiringi dengan
kualitas keluaran akhir yang sesuai. Jalan cerita Sajadah Ka’bah
tampil begitu membosankan dengan deretan karakter yang digambarkan
secara dangkal. Yang juga sama sekali tidak membantu adalah kualitas
penampilan akting yang disajikan para pemeran film ini dan juga kualitas
tata produksi film yang sama sekali jauh dari kesan istimewa.
Membosankan dan jelas merupakan sebuah film dengan kualitas yang sangat
mengecewakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar